Beranda Hukum Harapan dan Kenyataan Masyarakat Hukum Adat

Harapan dan Kenyataan Masyarakat Hukum Adat

21
0
Penulis : H. Albar Sentosa Subari, S.H, S.U., Foto: Ist, Swarnanews.co.id., Rehanudin Akil, S.H., Senin (20/10/2025).

Penulis : H. Albar Sentosa Subari, S.H, S.U., (Ketua Adat Peduli Marga Batang Hari Sembilan, dan Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan).

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG – ANGIN SEGAR selalu berhembus mengarah ke Masyarakat Hukum Adat yang sekarang dalam kondisi tidak baik baik saja, Senin (20/10/2025).

Karena antara ” harapan” dan ” kenyataan”, selalu tidak selamanya seiring sejalan bagaikan sebuah bentangan rel kereta api untuk mengantar manusia menuju suatu tujuan.

Hak-hak Masyarakat Hukum Adat (terutama mengenai pertanahan), secara normatif sudah jelas diakui bagian dari Hak Asasi Manusia.

Namun dalam kenyataannya Masyarakat Hukum Adat sering menjadi objek atas sebuah kebijakan.

Kita tidak menutup mata bahwa yang meninggalkan sisa-sisa persoalan, mulai dari pelarangan, penggusuran dan lain sebagainya bahkan harus sampai kepada persoalan hukum. Akibat tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang berlaku secara parsial.
Akibat belum adanya undang-undang pokok yang mengatur Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Secara Konstitusional sudah kita pahami Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI tahun 1945) yang merupakan turunan dari Tap. MPR RI, dan ditindaklanjuti dengan peraturan lainnya.

Baru-baru ini, tepatnya tanggal 16 Oktober 2025. Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Keputusan Nomor 181/PUU XII/2024, uji materil Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Karya menjadi undang-undang.

Menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Pasal 17 ayat 2 huruf b dan Pasal 37 ayat 5 bertentangan dengan undang-undang dasar negara Republik Indonesia.

Sebelumnya pasal 17 ayat 2 huruf b (pasal 37 angka 5 lampiran UU Cipta Karya berbunyi; Setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan dari pemerintah pusat.

Secara kasat mata bunyi pasal di atas betul-betul melanggar hak asasi manusia khususnya masyarakat hukum adat.
Dapat kita lihat baik dari sisi philosofis, juridis yang sosiologis.

Secara philosofis manusia ( masyarakat hukum adat) , memiliki hak kemerdekaan sebagai insan yang bermartabat dan berkeadilan.

Secara juridis normatif diakui dalam konstitusi, sedangkan secara sosiologis tak mungkin manusia (masyarakat hukum adat/dapat hidup tanpa tanah).

Seperti kata Prof. Dr. H. M. Koesnoe SH, manusia (masyarakat) tidak mungkin dapat hidup tanpa tanah, karena di sanalah mereka mencari kebutuhan hidup (bukan komersil), bahkan di sanalah juga mereka berkubur yang telah hidup secara turun temurun.(rls)

Editor :  Rehanudin Akil, S.H.,

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini